Berita

Menyuarakan pekerja migran perempuan Indonesia yang tidak bersuara

Sebagai bagian dari Festival Hak Asasi Manusia, ILO melalui Program ILO-UN Women Safe and Fair di bawah EU-UN Spotlight Initiative mengadakan pameran dan diskusi jurnalisme untuk menyuarakan para pekerja migran Indonesia yang tidak bersuara.

News | Semarang, Central Java, Indonesia | 23 November 2021
Berbagai liputan mendalam dan artikel tentang lika-liku kehidupan pekerja migran perempuan Indonesia oleh sejumlah jurnalis terpilih dipamerkan selama acara sampingan Festival Hak Asasi Manusia ILO, yang diselenggarakan oleh Kantor Eksekutif Presiden, Komnas HAM, INFID dan Pemerintah Kota Semarang.

Pameran jurnalistik mempromosikan hak pekerja migran perempuan
Partisipasi ILO dilakukan melalui Program Bersama ILO-UN Women Safe and Fair di bawah EU-UN Intiative Spotlight. Program ini bertujuan untuk mempromosikan migrasi tenaga kerja yang aman dan adil bagi semua perempuan di kawasan ini.

Diselenggarakan pada 18 November, pameran jurnalistik ini menarik perhatian ratusan pengunjung dari dalam negeri serta pekerja migran dari negara tujuan seperti Taiwan, Hong Kong, Singapura dan Timur Tengah. Pameran ini bertujuan untuk mengadvokasi hak dan menghapuskan kekerasan terhadap pekerja migran perempuan Indonesia. Pameran ini merupakan bagian dari program beasiswa media yang diselenggarakan bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta serta diikuti 10 jurnalis profesional dari seluruh Indonesia.

Selama peliputan, saya mengetahui adanya kematian seorang pekerja migran perempuan setelah 13 tahun diperdagangkan dan dia bukan satu-satunya. Jadi, saya hanya ingin memastikan suaranya masih terdengar."

Adinda R. Kusumo, pewarta Kompas TV
Dalam diskusi interaktif tentang perjalanan peliputan, salah satu jurnalis yang menjadi peserta, Suci Sekarwati, wartawan Tempo.co, grup media terkemuka di tanah air, membagikan kisahnya tentang Gendis, seorang pekerja migran perempuan, di Hongkong. Artikelnya menyoroti kerentanan pekerja migran perempuan Indonesia terhadap pelecehan dan kekerasan seksual karena terbatasnya ruang yang telah mengabaikan hak privasi mereka.

Sementara itu, Adinda R. Kusumo, pewarta Kompas TV, salah satu saluran TV ternama, membagikan rangkaian tayangan TV mendalamnya tentang pekerja migran perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban perdagangan orang. Kurangnya kesempatan kerja dan tradisi budaya migrasi menjadikan perempuan NTT cenderung mencari pekerjaan di luar negeri demi penghidupan yang lebih baik tanpa memiliki kesadaran akan hak-hak migran mereka.

Menghadirkan perspektif berbeda tentang pekerja migran, Maratun Narsihah, wartawan Suara Merdeka, salah satu media terkemuka di Jawa Tengah, menerbitkan tiga rangkaian artikel yang mengulas tentang pekerja migran perempuan Indonesia yang tanpa lelah memberdayakan pekerja migran lainnya melalui berbagai tulisan advokasi. Menggunakan pelantar media sosial, mereka mengadvokasi hak-hak pekerja migran dan mendesak negara tujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada para migran.


Menjadi suara pekerja migran Indonesia

Ketika ditanya mengapa tertarik untuk mengikuti program beasiswa media terkait pekerja migran, mereka semua mengatakan bahwa mereka berusaha untuk menjadi suara para pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran perempuan yang tidak mampu bersuara.

Para jurnalis berbagi pengalaman meliput isu migrasi kerja
“Selama peliputan, saya mengetahui adanya kematian seorang pekerja migran perempuan setelah 13 tahun diperdagangkan dan dia bukan satu-satunya. Jadi, saya hanya ingin memastikan suaranya masih terdengar,” ungkap Adinda.

Senada, Suci mengatakan ingin meningkatkan kesadaran calon pekerja migran tentang hak-hak mereka dan pentingnya mempelajari realitas pekerjaan mereka sebelum berangkat ke luar negeri. “Para pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran perempuan, perlu mengetahui hak-hak dan kondisi kerja mereka sehingga mereka dapat lebih melindungi diri mereka sendiri.”

Sementara itu, Maratun menekankan niatnya untuk mengubah persepsi negatif tentang pekerja migran Indonesia. “Para pekerja migran kita mampu dan berdaya. Mereka juga memperjuangkan sesama migran untuk mendapatkan keadilan yang layak mereka dapatkan,” katanya seraya menambahkan bahwa pekerja migran perempuan Indonesia di Taiwan dikenal karena advokasi mereka dan telah dianugerahi Taiwan Literacy Award.

Bekerja di luar negeri adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia... Kami juga terus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mendapatkan informasi dari penyedia layanan resmi dan bukan dari para calo."

Devriel Sogia, Direktur Penempatan Non Pemerintah Kawasan Asia and Afrika Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BP2MI)
Menanggapi pandangan dan pengalaman para wartawan tersebut, Devriel Sogia, Direktur Penempatan Non Pemerintah Kawasan Asia and Afrika Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BP2MI), mengakui kekerasan hak yang masih dihadapi oleh pekerja migran Indonesia. Namun, ia menambahkan bahwa pemerintah Indonesia terus mengambil inisiatif guna terus melindungi para migran mereka dengan lebih baik.

“Bekerja di luar negeri adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia. Salah satu langkah yang dilakukan, misalnya, memberikan visualisasi video tentang kondisi kerja yang sebenarnya kepada calon pekerja migran. Kami juga terus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mendapatkan informasi dari penyedia layanan resmi dan bukan dari para calo,” katanya.

Ia juga menekankan perlunya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah kini juga telah terlibat dalam memberikan layanan kepada pekerja migran Indonesia dan keluarganya.

Menyoroti layanan yang diberikan oleh pemerintah dan mitranya, M. Ridho Amrullah, Koordinator Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan, menjelaskan tentang integrasi layanan satu atap pemerintah dengan Migrant Resource Center (MRC) di tingkat kabupaten yang juga melakukan sosialisasi ke tingkat desa. Layanan tersebut kini sedang diujicobakan di empat daerah yang dikenal sebagai daerah pengirim TKI: Cirebon, Blitar, Tulungagung dan Lampung Timur,

“Inisiatif ini merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan yang lebih baik kepada tenaga kerja Indonesia. Inisiatif-inisiatif ini dilaksanakan bersama dengan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya Program Safe and Fair: Mewujudkan Hak dan Kesempatan Perempuan Pekerja Migran di Kawasan ASEAN,” ujarnya.

Dukungan ILO diberikan melalui Program Safe and Fair: Mewujudkan Hak dan Kesempatan Perempuan Pekerja Migran di Kawasan ASEAN. Dengan dukungan dari Uni Eropa, program yang dilaksanakan bersama oleh ILO dan UN Women ini bertujuan untuk mempromosikan migrasi tenaga kerja yang aman dan adil bagi semua perempuan di kawasan tersebut.